Tuesday, 31 January 2017

BATCHING PLANT



A.      DESKRIPSI UMUM

Batching plant merupakan alat yang berfungsi untuk mencampur/ memproduksi beton ready mix dalam produksi yang besar. Batching plant digunakan agar produksi beton ready mix tetap dalam kualitas yang baik, sesuai standar, nilai slump test dan strength-nya stabil sesuai yang diharapkan, untuk itu komposisi material harus terkendali. Dalam batching plant ini dipakai tipe dry mixed. Tipe dry mixed yaitu batching plant yang fungsinya hanya untuk menimbang saja, pengadukan beton ready mix dilakukan pada concrete mixer truck. Semua material yang akan diaduk, sebelumnya ditimbang sesuai dengan mix design dengan memperhitungkan kandungan air dalam material, baik dalam agregat kasar maupun agregat halus (pasir).
Ukuran kapasitas alat adalah satuan kecepatan produksi dalam meter kubik perjam. Agar batching plant dapat berproduksi sesuai kapasitasnya harus didukung dengan kecepatan pasokan material dan jumlah truk pengangkut (Mixer Truck ) secara berimbang, kira2 untuk type Dry mixed batching plant memiliki kapasitas 40-100 m3/jam . (sumber : PT. Lho-Nga Beton)
Bagian-bagian batching plant antara lain:
Ø  Cement silo, berfungsi untuk tempat penyimpanan semen dan menjaga semen agar tetap baik.
Ø  Belt conveyor, berfungsi untuk menarik bahan/material (agregat kasar dan agregat halus) ke atas dari bin ke storage bin.
Ø  Bin, berfungsi sebagai tempat pengumpulan bahan/material (agregat kasar dan agregat halus) yang berasal dari penumpukan bahan di base camp dengan bantuan wheel loader untuk di tarik ke atas (storage bin).
Ø  Storage bin, digunakan untuk pemisah fraksi agregat. Storage bin dibagi menjadi 4 (empat) fraksi, yaitu: agregat butir kasar (split), butir menengah (screening), butir halus (pasir), dan fly ash.
Ø  Timbangan pada alat batching plant dibagi menjadi 3 (dua) macam, yaitu: timbangan untuk agregat, timbangan untuk semen, dan timbangan untuk air.
Ø  Dosage pump, digunakan untuk penambahan bahan admixture seperti retarder.
Ø  Tempat penampungan air yang berfungsi sebagai supply kebutuhan air pada ready mix.

B.       PROSES BATCHING PLANT
Agregat pada batching plant diletakan pada staple material atau storage bin. Baik pada storage bin maupun pada staple material, agregat dipisahkan menjadi empat bagian yaitu butir kasar (split), butir menengah, butir halus dan pasir. Sedangkan semen diletakan pada suatu tabung disebut cement silo. Tabung ini tertutup rapat sehingga semen dalam keadaan tetap kering. Proses yang dilakukan dalam batching plant dapat secara manual, semi otomatis atau otomatis. Kapasitas dari batching plant biasanya tiga kali lebih besar dari kapasitas mixing plant.
Beton ini didapatkan dengan cara mencampur agregat halus (pasir), agregat kasar (kerikil), atau jenis agregat lain, dan air, dengan semen portland atau semen hidrolik yang lain, kadang-kadang dengan bahan tambahan (additif) yang bersifat kimiawi ataupun fisikal pada perbandingan tertentu, sampai menjadi satu kesatuan yang homogen. Campuran tersebut akan mengeras seperti batuan. Pengerasan terjadi karena peristiwa reaksi kimia antara semen dengan air.
Beton segar yang baik ialah beton segar yang dapat diaduk, dapat diangkut, dapat dituang, dapat dipadatkan, tidak ada kecenderungan untuk terjadi pemisahan kerikil dari adukan maupun pemisahan air dan semen dari adukan. Beton keras yang baik adalah beton yang kuat, tahan lama, kedap air, tahan aus, dan kembang susutnya kecil.
Dalam hal ini, dapat diperbedakan antara tipe dry mixed, yaitu batching plant yang fungsinya hanya untuk menimbang saja, dengan pengadukan beton ready mix yang dilakukan pada concrete mixer truck. Semua material yang akan diaduk, sebelumnya ditimbang sesuai dengan mix design dengan memperhitungkan kandungan air dalam material, baik dalam agregat kasar maupun agregat halus (pasir). Setelah campuran masuk ke concrete mixer , campuran beton tersebut di bawa ke lab untuk di uji slump , dan setelah itu baru di bawa ke konsumen.
C.      ALAT BERAT PADA BATCHING PLANT
Alat-alat berat yang dibutuhkan pada Batching Plant antara lain:
Ø  Dump truck yang berfungsi untuk mengangkut bahan/material (agregat kasar dan agregat halus) dari quarry menuju ke base camp.
Ø  Wheel loader yang berfungsi untuk alat angkut bahan/material (agregat kasar dan agregat halus) dari tempat penumpukan material menuju ke bin. Wheel loader memiliki bucket untuk membawa material dan bergerak dengan menggunakan roda karet, sehingga mobilitasnya tergolong cepat.
Ø  Cement truck yang berfungsi sebagai pengangkutan semen curah dari pabrik semen ke base camp.
Ø  Concrete mixer truck yakni suatu kendaraan truk khusus yang dilengkapi dengan concrete mixer yang fungsinya mengaduk/mencampur campuran beton ready mix, sama dengan alat molen. Concrete mixer truck ini digunakan untuk mengangkut adukan beton ready mix dari tempat pencampuran beton ke lokasi proyek. Selama pengangkutan, mixer terus berputar dengan kecepatan 8-12 putaran per menit agar beton tetap homogen dan beton tidak mengeras. (Sumber : Operator PT. Lho-Nga Beton)



MAKALAH TENTANG PENATAAN KOTA YANG BAIK

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Saat ini di Aceh sedang melakukan pembangunan dan pengembangan daerah, khususnya kota Banda Aceh pasca terjadinya tsunami tahun 2004 silam. Dengan pembangunan dan pengembangan daerah maka kota akan menjadi lebih indah dan nyaman bagi masyarakat .Bila membangun sebuah kota tanpa adanya penataan yang baik dan benar bisa membawa dampak yang negatif bagi masyarakatnya terutama dalam hal keindahan kota.

Kota yang baik adalah yang mampu mencukupi warganya akan hunian yang layak serta permukiman yang responsif dan mendorong produktifitas. Saat ini pemetaan kota yang baik masih sulit dilakukan secara menyeluruh, karena masih terbatasnya data dasar perkotaan yang memadai, yang salah satunya adalah melalui peta jalan di dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) kota/perkotaan. Rencana dan program perumahan dan permukiman untuk sebuah kota untuk minimal 20 tahun mendatang harus konkrit tertuang di dalam RTRW, baik tecermin di dalam kebijakan dan strategi penataan kota, pola dan struktur ruang kota, maupun di dalam indikasi program utama pemanfaatan ruang.

Visi kolektif pentingnya perkotaan lestari , yang masih menghadapi banyaknya tantangan persoalan perkotaan, yang harus diselesaikan secara sinergik oleh semua pemangku kepentingan agar cepat terwujud kota dan perkotaan yang lebih baik, karena pada kota-kota demikianlah maka penghidupan dan kehidupan yang lebih baik bagi warganya juga akan dapat lebih terjamin. Hal ini dianggap masih sangat sulit dicapai bagi sebuah negara berkembang, seperti Indonesia, sehingga memerlukan tindakan-tindakan yang lebih nyata, yaitu pro-shelter dan pro-settlements di tingkat pusat dan daerah dalam kebijakan dan program pembangunannya.
Pertumbuhan kota yang cepat secara langsung berimplikasi pada pembangunan infrastruktur dan pelayanan public. Kurangnya pelayanan air bersih, sistem sanitasi yang baik, penyediaan rumah dan transportasi yang baik untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan penduduk kota, akan menjasi penyebab utama timbulnya masalah di kota-kota Negara berkembang.

1.2 Tujuan
1.      Mengetahui tata cara perancangan sistem perkotaan yang baik bagi masyarakat.
2.      Mengetahui manajemen perkotaan yang baik dan benar.
1.4 Ruang Lingkup
            Ruang lingkup dari pembahasan masalah ini ialah segala sesuatu yang berkenaan dengan masalah seputar tata kota ditinjau dari aspek sosial-ekonomi masyarakat yang hidup didaerah kota.















BAB II
GAGASAN
2.1 Penataan Kota yang Baik
Kota yang baik adalah yang mampu mencukupi warganya akan hunian yang layak serta permukiman yang responsif dan mendorong produktifitas. Saat ini pemetaan kota yang baik masih sulit dilakukan secara menyeluruh, karena masih terbatasnya data dasar perkotaan yang memadai, yang salah satunya adalah melalui peta jalan di dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) kota/perkotaan. 
Rencana dan program perumahan dan permukiman untuk sebuah kota untuk minimal 20 tahun mendatang harus konkrit tertuang di dalam RTRW, baik tecermin di dalam kebijakan dan strategi penataan kota, pola dan struktur ruang kota, maupun di dalam indikasi program utama pemanfaatan ruang. Program-program perumahan dan permukiman harus disusun kontekstual sesuai kebutuhan nyata warganya, baik terkait perbaikan lingkungan seperti KIP, peremajaan kawasan, maupun penyediaan kawasan permukiman baru seperti Kasiba/Lisiba, atau bahkan sebagai kota mandiri.
Untuk mendapatkan tata kota yang baik seharusnya kita harus bisa memenuhi beberapa syarat agar lebih baik yaitu:
1.      Sebelum membangun/memperluas sebuah kota harus melakukan perencanana dulu seperti penyelidikan akan potensi kota dan penempatan lokasi kota yang baik.
2.      Membuat peraturan tentang perluasan kota.
3.      Melakukan pemetaan tentang tata letak bangunan publik dan perumahan sehingga tidak saling timpa tindih.
4.      Penyedian ruang hijau sebagai paru-paru kota.
5.      Memperhatikan aspek yang menunjang seperti, lokasi pelabuhan laut, bandara udara, stasiun kereta, terminal bus dan masih banyak lagi.
Dalam disiplin ilmu perancangan kota, seperti dijelaskan oleh Ir. Ikaputra M.Eng., Ph.D., pakar perencanaan kota dan lingkungan, paling tidak ada empat tolak ukur kota yang baik:
1.      Kota itu harus bisa berfungsi dengan baik. Artinya, tata guna ruang tersebut harus berfungsi optimal.
2.      Kota harus memiliki sirkulasi, sehingga penghuninya bisa berpindah tempat dengan baik. Salah satu indikatornya adalah transportasi publik. Kalau transportasi publik buruk, kota itu tidak bisa dinilai baik.
3.      Tata ruang kota harus dikembangkan berdasar penataan bangunan. Kalau penataan bangunannya buruk, kota itu tidak bisa dikategorikan sebagai kota yang baik.
4.      Tata utilitas lain di luar sirkulasi/transportasi, seperti drainase dan sanitasi, harus bekerja dengan optimal. Tidak hanya di Jakarta, di kota lain di seluruh dunia pun menghadapi tantangan drainase dan sanitasi yang sama. Selain alasan cuaca ekstrem, ternyata masalah paling umum yang dihadapi banyak kota di Indonesia berkaitan dengan drainase adalah kapasitas utilitas drainase kota itu tidak mampu mewadahi aliran air karena tata ruang kota itu tidak dirancang dengan baik.
Maka itu, dalam membangun sebuah kota diperlukan perencanaan yang baik. Berikut prinsip-prinsip perencanaan kota, seperti dikutip dari www.globalplannersnetwork.org:
1.      Mendukung pembangunan kota yang berkelanjutan
2.      Terintegrasi dengan semua aspek kota, seperti transportasi, saran publik, mitigasi bencana, dan sebagainya.
3.      Terintegrasi dengan perencanaan biaya.
4.      Melibatkan mitra dan stakeholder.
5.      Sesuai dengan prinsip-prinsip tentang tata kawasan dan hunian.
6.      Mendukung respons pasar terhadap kawasan tersebut.
7.      Mendukung akses menuju ke kawasan tersebut.
8.      Mengembangkan fasilitas pendukung yang sesuai.
9.      Berpihak pada golongan ekonomi rendah dan kepentingan umum.
10.  Memperhatikan keragaman budaya.

2.2    Manajemen Perkotaan yang Baik dan Benar
Manajemen Perkotaan adalah suatu upaya mobilisasi sumber daya perkotaan melalui tahapan perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan, pengendalian, secara efisien dan efektif guna mewujudkan visi, misi, dan tujuan dari suatu kawasan perkotaan dengan tetap mempertahankan linkungan strategis.


Adapun kebijakan masyarakat dalam manajemen perkotaan mencakup hal- hal sebagai berikut:
1.      Tata ruang
2.      Pemanfaatan lahan
3.      Program investasi
4.      Pembiayaan pembangunan
5.      Lingkungan hidup
6.      Kelembagaan
7.      Partipasi masyarakat dan pelayanan masyarakat.
Bertambahnya jumlah penduduk yang terus meningkat dari waktu ke waktu akan memberikan implikasi terhadap tingginya pemanfaatan ruang kota. Ada 2 (dua) faktor penting dalam penataan kota, yaitu faktor ideal dalam arti standar kesejahteraan kota dan faktor pelaku dimana manusia itu sendiri yang berfungsi sebagai subyek dalam suatu kota. Terkait dengan perlunya penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di setiap kota sebesar 30% yang disebutkan dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007, maka dalam merencanakan dan membangun sebuah kota tidak hanya pembangunan secara fisik yang ditonjolkan untuk mencapai kemakmuran perekonomian, namun penyediaan RTH dan fasilitas publik juga perlu ditingkatkan.
Adanya arus globalisasi yang terjadi saat ini akan banyak membawa perubahan dan tantangan baru dalam penataan ruang. Diperlukan adanya manajemen kota untuk menampung berbagai macam aspirasi, kepentingan, dan harapan dari masyarakat dengan mengembangkan prinsip-prinsip manajemen yang terpadu dan terkoordinasi.
Konsep pemberdayaan dan pelibatan masyarakat miskin perkotaan dalam penataan ruang harus dilakukan secara hati-hati, dikarenakan sangat rentan terhadap intervensi dalam perencanaan kota. Perlu adanya pemecahan masalah dari sisi sosial ekonominya dengan upaya penyediaan lahan, pembangunan berbasis teknologi, dan penetapan biaya yang terjangkau oleh masyarakat. Selain itu penerapan prinsip trust-worked antara Pemerintah dan masyarakat harus tetap dilaksanakan untuk mewujudkan penataan ruang yang bermanfaat bagi semua lapisan masyarakat.
Penangan masalah-masalah yang terjadi dapat menjadi nilai tambah untuk pemerintah karena peduli dan ada tindakan untuk menyelesaikan masalah-masalah pembangunan. Selain itu, keterlibatan semua pelaku manajemen perkotaan dapat diaplikasikan melalui pendekatan pembangunan partisipatif. Pemerintah harus bisa mengajak semua stakeholder dalam pembangunan. Secara khusus bagi masyarakat, mereka tidak lagi secara pasif menerima bantuan sebagai objek pembangunan, tetapi mereka diajak aktif untuk menjadi subjek dari pembangunan itu sendiri. Dengan adanya pendekatan tersebut maka diharapkan manajemen perkotaan tersebut dapat mewujudkan hasil pembangunan yang lebih baik.
















BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam  proses  perencanaan  pengembangan  wilayah,  peran  strategis wilayah,  masyarakat  dan  piranti  pendukung  lainnya  merupakan  satu  bagian yang  tidak  dapat  dipisahkan.  Pemahaman  mendalam  terhadap  potensi  wilayah dan kendala  yang  menghambat,  akan  sangat  menentukan  dalam  penetapan arahan pengembangan kewilayahan. Dengan menerapkan visi perencanaan yang sesuai, maka akan diperoleh suatu  arahan  penataan  wilayah  yang  tepat  tujuan  dan  sasaran.
Dalam dalam hal penataan kota ini memeliki visi kolektif pentingnya perkotaan lestari , yang masih menghadapi banyaknya tantangan persoalan perkotaan, yang harus diselesaikan secara sinergik oleh semua pemangku kepentingan agar cepat terwujud kota dan perkotaan yang lebih baik, karena pada kota-kota demikianlah maka penghidupan dan kehidupan yang lebih baik bagi warganya juga akan dapat lebih terjamin. Hal ini dianggap masih sangat sulit dicapai bagi sebuah negara berkembang, seperti Indonesia, sehingga memerlukan tindakan-tindakan yang lebih nyata, yaitu pro-shelter dan pro-settlements di tingkat pusat dan daerah dalam kebijakan dan program pembangunannya.




MAKALAH TENTANG KEGAGALAN PROYEK YANG MELIBATKAN KONTRAKTOR


A.      DEFINISI PROYEK
Proyek  adalah  suatu  kegiatan  yang  sifatnya  unik  yang dibatasi  oleh  waktu dan  sumber  daya,  baik  berupa  manusia,material,  biaya  ataupun  alat,  sehingga  hal  ini  membutuhkan  suatumanajemen  proyek  mulai  dari  fase  awal  hingga  fase  penyelesaian proyek.  Semakin  tinggi  tingkat  kompleksitas  proyek  dan  semakin langkanya  sumber  daya,  maka  dibutuhkan  sistem  pengelolaan  proyek yang  baik  dan  terintegrasi.  Suksesnya  manajemen  proyek  ditentukan dari  pencapaian  sasaran  proyek  yang  sesuai  waktu,  sesuai  anggaran, pemakaian sumber daya yang efektif dan memuaskan pengguna jasa.
Perencanaan maupun pengendalian waktu dan biaya merupakan bagian dari  manajemen  proyek  secara  keseluruhan.  Kesuksesan  proyek  dapat diukur  dari  pencapaian  sasaran  proyek  yaitu  tercapainya kualitas pekerjaan  sesuai  dengan  persyaratan  yang  ditetapkan,  proyek  dapat diselesaikan  dalam  waktu  yang  telah  ditetapkan,  masih  dalam  batas anggaran  yang  disediakan,  bahkan  kalau  bisa  dibawah  anggaran  yang ada.
Waktu  yang  digunakan  dan  biaya  yang  telah  dikeluarkan  dalam menyelesaikan  proyek  harus  diukur  secara  kontinyu  penyimpangannya terhadap  rencana.  Adanya  penyimpangan  waktu  dan  biaya  yang signifikan  mengindikasikan  pengelolaan  proyek  yang  buruk. Keterlambatan  jadwal  dan  cost  overrun  dalam  proyek  menjadi perhatian utama bagi pemilik proyek maupun kontraktor. Keterlambatan  penyelesaian  proyek  biasanya  selalu  berdampak  pada biaya,  sedangkan  biaya  selalu  terkait  dengan  tingkat  suku  bunga  dan laju  inflasi  yang  selalu  berubah  setiap  waktu  sehingga  keterlambatanproyek  dapat  menjadi  faktor  kritis  dan  menjadi  kontribusi  utama terhadap  terjadinya  pembengkakan  biaya  proyek.
Dampak  lain dari keterlambatan  proyek  adalah  timbulnya  masalah  besar  bagi  semua  tim proyek  yang  terlibat  baik  itu  owner  ataupun  kontraktor.  Tim  proyek owner  akan  dianggap  gagal  dalam  mengelola  proyek  dan  jadwal  untuk pengoperasian  akan  terlambat,  tentunya  akan  berdampak  pada  sales value. Sedangkan kontraktor akan terkena denda penalti sesuai dengan kontrak,  cash  in  yang  akan  bermasalah  karena  tidak  bisa  mengajukan invoice  progress  pekerjaan  dan  tentunya  pihak  lain  juga  akan mengalami  dampak  negatif  seperti  subkontraktor,  vendor  material yang terlibat dalam proyek.
B.       PENYEBAB KEGAGALAN PROYEK
Adapun faktor-faktor penyebab kegagalan suatu proyek kontruksi terdiri dari sepuluh elemen penting , diantaranya sebagai berikut ;
1.    Minimnya Dukungan dari Sponsor Proyek
Jika  semua  pihak  yang  terlibat  dalam  suatu  proyek  baik  pihak  investor maupun  pihak  eksekutor  tidak  mendukung  secara  penuh  pelaksanaan proyek  maka  dapat  dipastikan  proyek  akan  bermasalah,  bahkan  tidak jarang  juga  proyek  berhenti  ditengah  jalan.  Minimnya  dukungan  dari sponsor  proyek  akan  menjadi  sumber  masalah  dalam  penyelesaian proyek,  oleh  karena  itu  harus  dipastikan  bahwa  semua  tim  proyek harus  mempunyai  komitmen  yang  kuat  untuk  mendukung  kesuksesan proyek.

2.    Persyaratan Yang Tidak Jelas
Pemahaman  sebagain  besar  tim  proyek  yang  cenderung  menganggap “remeh”  pekerjaan  akan  menjadi  bumerang  sendiri  pada  saat berjalannya  proyek.  Seorang  Manajer  Proyek  harus  bisa  menunjukkan kepada  semua  tim  proyek  hal  yang  sifatnya  meragukan,  kemungkinan kemungkinan  terburuk  dalam  proyek  dan  berusaha  keras  untuk mendapatkan pemahaman persyaratan yang jelas dalam menyelesaikan proyek.


3.    Waktu dan Anggaran Yang tidak Realistis
Biasanya  investor  maupun  tim  proyek  sering  berpikir  dengan  istilah “tidak  mungkin”  pada  suatu  proyek.  Setiap  yang  terlibat  dalam  proyek harus  dapat  memahami  kalau  setiap  proyek  memiliki  durasi  tertentu sesuai  dengan  anggaran  dan  sasaran/target  proyek  yang  diharapkan. Semakin  paham  ruang  lingkup  pekerjaan  maka menentukan  waktu  dan  anggaran  proyek  akan  semakin  realistis sehingga  tingkat  keberhasilan  proyek  akan  semakin  tinggi,  begitu  juga sebaliknya  semakin  tidak  paham  ruang  lingkup  pekerjaan  makamenentukan  waktu  dan  anggaran  sema kin  tidak  realistis  sehinggatingkat  kegagalan  proyek  juga  akan  semakin  tinggi. 
4.    Produktivitas Yang Rendah
Hal  ini  menggambarkan  fenomena  yang  sering  terjadi  dalam  proyek, produktifitas  kerja  cenderung  menurun  bahkan  hasil  akhir  pekerjaan berbeda  dengan  rencana  semula.  Proses  pendokumentasian,mekanisma  pengontrolan  yang  jelas  sangatlah  penting  untukmendapatkan  hasil  yang  optimal  dan  mempertahankan  supaya produktifitas kerja tidak sampai menurun.
5.    Minimnya Pemahaman Terhadap Manajemen Resiko
Tingkat  kompleksitasnya  tiap  tahapan  proyek  tidaklah  sama,  oleh karena  itu  semua  tim  proyek  harus  memahami  setiap  tahapan pekerjaan.  Kemampuan  untuk  memahami  dan  mengindentifikasi potensi masalah yang akan terjadi pada tiap tahapan proyek cenderung berdampak  pada  hasil  akhir  proyek. Minimnya  pemahaman  tim  proyek terhadap  manajemen  risiko  akan  berdampak  buruk  pada  hasil  akhir proyek,  sehingga  diharapkan  setiap  tim  proyek  diarahkan  untuk  sama-sama memiliki pemahaman yang bagus tentang manajemen risiko.
6.    Prosedur dan Dokumentasi Yang Tidak Baik
Prosedur  dan  dokumentasi  menjadi  hal  yang  mutlak  dalam  setiap proses  pekerjaan  proyek.  Prosedur  menjadi  panduan  dasar  bagi  semua tim  proyek  dan  dokumentasi  menjadi  bagian  atau  komponen  dalam mengontrol  pekerjaan.  Ketidakdisiplinan  tim  proyek  dalam  mengikuti prosedur  yang  sudah  ditentukan  dan  dokumentasi  yang  tidak  baik  akan berdampak  buruk  pada  hasil  akhir  proyek. 
7.    Metode Esimasi Yang Tidak Baik
Metode  estimasi  komponen-komponen  pekerjaan  sangat mempengaruhi hasil akhir proyek. Dalam melakukan  estimasi  bisa  menggunakan  beberapa  metode  antara  lain, informasi  pada  proyek  sebelumnya  yang  bisa  dipergunakan  sebagai pembelajaran  (lesson  learn),  melakukan  studi  terlebih  dahulu  atau melibatkan personil yang lebih memahami pekerjaan.
8.        Kemampuan Dalam Berkomunikasi
Tim proyek memiliki karakter yang berbeda satu sama lainya, sehingga diperlukan  suatu  standar  komunikasi  yang  baik  dalam mengkomunikasikan  pekerjaan  yang  biasanya  dituangkan  dalam “communication  procedure”.  Komunikasi  dengan  semua  tim  yangterlibat  dalam  proyek  adalah  faktor  yang  sangat  penting  dalam mencapai  sasaran  proyek . Komunikasi  yang  buruk  juga  akan  berdampak  buruk  pada  hasil pekerjaan dan banyak proyek mengalami kegagalan karena komunikasi sesama tim proyek tidak berjalan dengan baik.
9.    Tidak Belajar Dari Proyek Sebelumnya (Lesson Learn)
Sebuah  perusahaan  yang  bagus  harus  bisa  menjelaskan  secara transparan  target  proyek  yang  akan  dicapai  dan  keuntungan  apa  yang akan  diberikan  kepada  tim  proyek.  Setiap  tim  proyek  harus memandang  proyek  sebagai  bisnis  yang  menguntungkan,  harus  belajar dari  kegagalan  proyek  sebelumnya,  secara  terus  menerus  memonitorperkembangan teknologi dunia proyek dan selalu memberikan masukan yang positif selama proyek berjalan.

10.    Sumber Daya Proyek Yang Tidak Efisien
Persiapan  sumber  daya  yang  tidak  kompeten  dalam  menyelesaikan pekerjaan  akan  menjadi  masalah  besar  dibanding  dengan  tidak mempunyai sumber daya sama sekali. Untuk mendapatkan sumber daya yang  bagus,  pastikan  terlebih  dahulu  syarat    syarat  sumber  daya  yang dibutuhkan  proyek    dan  berusaha  mendapatkan  sumber  daya  setiap komponen sumber daya yang paling efisien.
C.      KEGAGALAN DINI PERKERASAN JALAN AKIBAT PELAKSANAAN KONSTRUKSI
Sumber Kegagalan Bangunan ditinjau dari tahapan Pelaksanaan Proyek Konstruksi Cukup banyak faktor penyebab kegagalan  bangunan. Ditinjau dari tahapan-tahapan proyek konstruksi dan pasca proyek konstruksi kegagalan  dapat diakibatkan oleh faktor-faktor sebagai berikut ;
Ø  Kesalahan-kesalahan yang terjadi selama proses prastudi dan studi kelayakan.
Ø  Kesalahan-kesalahan dalam perencanaan dan disain (planning and engineering design).
Ø  Kesalahan-kesalahan dalam prosedur pengadaan
Ø  Kesalahan-kesalahan yang terjadi selama tahap pelaksanaan .
Ø  Kesalahan dalam pemanfaatan/pengoperasian.
Ø  Pemeliharaan yang kurang memadai .
1.    Kasus Kegagalan Bangunan dari perspektif  Hukum Kontrak
a.       Aspek kontraktual
Kontrak jasa konstruksi merupakan suatu  perikatan yang lahir dari suatu perjanjian berisi ketentuan-ketentuan mengenai hak dan kewajiban yang mengikat pihak-pihak yang terlibat. Dalam kontrak konstruksi,hak dan kewajibandituangkan dalam syarat-syarat umum dan syaratsyarat khusus kontrak. Namun tidak terbatas pada syarat-syarat tersebut, karena  ada kewajiban-kewajiban hukum yang menambah,yang oleh hukum yang berlakudianggap dikehendaki oleh mereka yang melakukan perjanjian.. Oleh sebab itu, setiap perjanjian harus mengikuti hukum yang berlaku dalam suatu wilayah hukum. Syarat-syarat umum kontrak versi Federation of International des Ingeneurs Councel (FIDIC edisi 1987) menyatakan hal tersebut pada pasal 26.1 dan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Konstruksi No 29/2000 menegaskan hal tersebut pada pasal 23(2).6.
b.    Resiko-resiko Tanggungjawab dalam Penyelenggaraan Konstruksi
Sifat unik proyek konstruksi menyebabkan  tujuan produk yang ditetapkan sulit dipastikan. Hal ini membuat resiko kegagalan dalam pemenuhan kewajiban kontrak tidak dapat dihilangkan, namun dapat direduksi. Oleh karena itu setiap pihak perlu memahami resiko-resiko yang mungkin timbul selama konstruksi maupun pasca konstruksi. Resiko-resiko tersebut dapat timbul akibat ketidakmampuan untuk memenuhi kewajiban dalam kontrak baik yang sifatnya kelalaian, kesengajaan, kecerobohan maupun kondisikondisi yang tidak dapat diramalkan karena keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh manusia. Misalnya kegagalan selama pelaksanaan kontrak yang tidak terdeteksi seperti cacat-cacat yang tersembunyi (latent defect) yang timbul pada periode pasca konstruksi .
c.    Responsibility dan Liability
Ditinjau berdasarkan konsep hukum maka  kedua kata mempunyai pengertian yang berbeda.
Ø  Seseorang dikatakan bertanggungjawab jika secara umum memperlihatkan kepedulian, memikirkan dan mempertimbangkan kemungkinan dari hasil tindakan-tindakannya.
Ø  Seseorang bertanggungjawab terhadap suatu kejadian jika ia bertingkah laku dalam kejadian itu sebagai faktor penyebab utama.
Ø  Seseorang bertanggungjawab jika dari segi umur, fisik dan mental ia mampu mengendalikan tindakannya secara rasional dan wajar, maka secara hukum ia bertanggungjawab.
Liability didefinisikan sebagai konsep hukum yang memaksa warga negara, badan usaha atau satu lembaga dalam suatu permasalahan agar tertib hukum  dengan  mewajibkannya  untuk  melakukan atau  tidak  melakukan  sesuatu.  “Seseorang dikatakan dalam keadaan bertanggungjawab jika ia sekurang-kurangnya  secara  hukum  diharuskan untuk  melakukan  sesuatu  akibat  tindakannya  yang melanggar  hukum.”  (The  Oxford  Companion  to Law’  malalui   BUNNI  1986)  Responsibility merupakan tindakan seseorang yang secara hukum memenuhi  syarat  untuk  melaksanakan kewajibannya  dengan  suatu  kepedulian,  pikiran, dan  pertimbangan-pertimbangan  terhadap  akibatakibat tindakannya.
Liability  akan timbul dari suatu kerelaan  atau  aturan-aturan  hukum  yang memaksa.   Dengan  demikian  maka  hubungan antara  responsibility  dan  liability dapat dikemukakan  sebagai  berikut  Responsible  berarti bertanggungjawab dan liable berarti tanggungjawab untuk suatu hasil tindakan yang telah lakukan.Tanggungjawab  dalam  kata  responsible berarti  bertanggungjawab  untuk  melakukan  suatu tindakan  tetapi  bukan  berati  tindakan  untuk mengganti  kerugian-kerugian.  Sehingga tanggungjawab  dalam  kata  liable  bukan  berarti tanggungjawab  dalam  kata  responsible. 
Perbedaan antara kedua  kata  diatas, dapat dilihat pada kasus berikut. Seorang  engineer  dari  pihak  pelaksana konstruksi  mempunyai  tanggungjawab (responsible)  untuk  menjaga  agar  dalam  pelaksanaan  pekerjaan  tidak  terjadi  kecelakaan kerja dan secara hukum bertanggungjawab  (liable) jika  terjadi   kecelakaan  kerja  akibat  kelalaiannya. Dalam  kasus  lain, pihak perusahaan asuransi tidak mempunyai  tanggungjawab  (responsibility)  tetapi mempunyai  tanggungjawab  (liable)  jika  timbul suatu  resiko  terhadap  pihak  yang  dijamin. 
Hal  ini disebabkan  karena  pihak  asuransi  meletakkan kewajiban  kepada pihak yang dijamin. Kemana tanggungjawab  ditujukan?  Kepada  diri  sendiri, masyarakat umum, masyarakat yang terlibat dalam jasa  konstruksi,  pemilik  proyek  konstruksi  dan tanggungjawab antara sesama profesional. Dari kajian tentang tanggungjawab ini, dapat disimpulkan  bahwa  pada  saat  perjanjian  kontrak ditandatangani,  maka  pihak-pihak  yang  terlibat dianggap  telah  memikirkan  dan mempertimbangkan  akibat-akibat  tindakannya dan  secara  hukum  bertanggungjawab  untuk memenuhi  kewajiban-kewajiban  kontraknya.
Kewajiban  yang  tidak  dipenuhi,  merupakan  suatu pelanggaran  yang  secara  hukum  harus dipertanggungjawabkan. Liability dalam Civil Code yang  hingga  saat  ini  masih  populer  digunakan  di Indonesia  umumnya didasarkan kekurang pedulian (Lack  of  Care)  atau  kelalaian  (Negligence .Untuk  menetapkan  tanggungjawab  atas kegagalan  bangunan  ,  maka  unsur-unsur  yang mutlak  dipenuhi  dapat  dikemukakan  sebagai berikut :
Ø  Penyedia  jasa  mempunyai  kewajiban  hukum yang harus dipenuhi.
Ø  Penyedia jasa gagal memenuhi tanggungjawab kontraktual
Ø  Pengguna jasa mengalami kerugian.
Ø  Ada  hubungan  sebab  akibat  antara  peristiwa pelanggaran  dan  peristiwa  yang  menyebabkan kerugian pengguna jasa.
Adapun   faktor-faktor   yang  dapat memperkecil bahkan menyebabkan suatu kesalahan atas kegagalan bangunan dapat dibenarkan. Faktorfaktor tersebut antara lain :
Ø  Penyedia  jasa  dapat  memperlihatkan  bahwa sumber  kegagalan  konstruksi  yang  bermotif kejahatan  (misalnya  kecurangan)  yang melibatkan penerima jasa dan wakil penerima jasa.
Ø  Kegagalan  yang  terjadi  masih  dalam  batasan resiko  yang  diterima  oleh  pengguna  jasa.
Ø  Kegagalan  bangunan  bersumber  dari  suatu peristiwa  yang  tidak  dapat  dihindari  selama periode  penyediaan  jasa  dan  masa pertanggungan  atas  cacat-cacat.
Ø  Kegagalan bersumber dari Acts of God.
Ø   Sumber  kegagalan  dilakukan  oleh  penyedia jasa  sebagai  suatu  tindakan  yang  luar  biasa  yang  dibutuhkan  untuk  mencegah  kerugian yang lebih besar (Necessity).
Ø  Pelanggaran  kontraktual  yang  merupakan suatu  tindakan  penyedia  untuk  memenuhi peraturan  perundang-undangan.  (statutory authority)
Ø  Kegagalan  terjadi  telah  melampaui  batas waktu  untuk  melakukan  tuntutan  atau daluwarsa (limitation of action).
d.  Usaha penggantian kerugian (Indemnity)
Secara kontraktual, pihak-pihak yang terlibat dalam  penyelenggaraan  konstruksi   akan  berusaha melakukan  penanganan  atau  pencegahan  terhadap terjadinya  kerugian  pihak  lain.  Pendekatan  dalam penanganan  resiko  berbeda-beda,  tergantung  dari pandangan dan kemampuan sumber daya, informasi dan  kepentingan  masing-masing  pihak  terhadap resiko  yang  dihadapi. Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam  bertanggung jawab selama pelaksanaan proyek kontruksi dilampirkan dalam table berikut.
 



2.    Penyebab kegagalan dini perkerasan jalan di Indonesia pada tahap pelaksanaan.
Salah satu  kasus  yang  dapat  dikemukakan dalam  kasus  kegagalan  dini  perkerasan  jalan  di Indonesia  pada  ditinjau  pada  aspek  pelaksanaan, adalah pada jalan tol di Indonesia. Kegagalan yang potensial  berdasarkan  data  yang  diberikan  oleh pihak-pihak  yang  terlibat  dalam  proyek  jalan  tol selama  tahun  1982-2001  umumnya  di  sebabkan oleh  aspek  rendahnya  kepatuhan  terhadap kewajiban-kewajiban  kontrak. 
Hal  ini  telah mendorong meningkatnya potensi kegagalan teknis dalam  pelaksanaan  konstruksi  pada  jalan  tol. (Yunus,  2001).   Peristiwa-peristiwa  selama  tahap pelaksanaan  yang  mempunyai  resiko  tinggi terhadap  kegagalan  dini  perkerasan  jalan berdasarkan  3  pihak  yang  terlibat  selama pelaksanaan konstruksi jalan tol dikemukakan pada tabel 3.
Berdasarkan  Tabel  3  diatas,  dapat dikemukakan  bahwa  terdapat  variabilitas  dari masing  masing  pihak  yang  terlibat  dalam pelaksanaan konstruksi jalan tol. Ruslan  2001  mengemukakan  bahwa  dari  40 peristiwa  yang  teridentifikasi  berpotensi menyebabkan  kegagalan  diatas,  diperoleh  nilai resiko  kegagalan  dini  akibat  kegagalan  memenuhi kewajiban  kontraktual  sebesar  26,09  %.  Ini memberi  informasi  potensi  terjadinya  kegagalan prematur  pada  periode  pasca  kontrak  lebih  besar dari kegagalan yang dapat diterima menurut standar keandalan  yang  direkomendasikan  oleh  AASHTO sebesar  90-99%.
 Berdasarkan  penilaian  responden terhadap  peristiwa-peristiwa  yang  sering  terjadi selama  pelaksanaan  proyek  jalan  tol,  maka kegagalan  prematur  selama  ini  adalah  hal  yang wajar.  Hal  ini  didasarkan  pada  selisih  keandalan yang akan  dicapai  (tersirat  resiko  yang  diterima) dan potensi kegagalan saat pelaksanaan.
3.     Penyelesaian Kegagalan Bangunan di Indonesia
Untuk  menjamin  kepastian  hukum  suatu produk  yang  dihasilkan  dalam  suatu penyelenggaraan  konstruksi,  di  Indonesia, sebelumnya  telah  ada  beberapa  peraturan  perundang-undangan,  yang  berhubungan  dengan kegagalan  suatu  produk  seperti  KUHPer  (1609) dan  AV41.  Kedua  produk  hukum  tersebut  kurang mampu  mengakomodasi  perkembangan  industri jasa  konstruksi  ditanah  air  pada  saat  ini.
Permasalahan  kegagalan  produk  konstruksi khususnya  bangunan  dalam  UU  No  18/1999  telah diatur.  Namun  masih  bersifat  umum  dan  masih membutuhkan  pengembangan,  khususnya  yang berkaitan  dengan   definisi  kegagalan,  penilaian kegagalan  dan  sitem  penjaminannya.  Belum populernya  pendekatan  resiko  dalam  menangani permasalahan yang timbul dalam bidang konstruksi ditanah  air  menjadi  salah  satu  faktor  penyebab sistem  penjaminan  untuk  kegagalan  bangunan belum  berkembang. 
Namun  dengan  adanya kewajiban bagi pihak-pihak penyedia dan pengguna jasa  konstruksi  untuk  menerapkan  Indemnity Insurance  dan  Profesional  Liability  Insurance, Seperti  yang  dikemukakan  dalam  Undang-undang No  18/199  maka  dibutuhkan  diversifikasi  layanan lembaga  penjamin  yang  mampu  mendukung karakteristik industri konstruksi.


Gambar jalan tol
1.    Gambar 1
2.    Gambar 2

3.    Gambar 3
4.    Gambar 4