BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini di
Aceh sedang melakukan pembangunan dan pengembangan daerah, khususnya kota Banda
Aceh pasca terjadinya tsunami tahun 2004 silam. Dengan pembangunan dan
pengembangan daerah maka kota akan menjadi lebih indah dan nyaman bagi
masyarakat .Bila membangun sebuah kota tanpa adanya penataan yang baik dan
benar bisa membawa dampak yang negatif bagi masyarakatnya terutama dalam hal
keindahan kota.
Kota yang baik
adalah yang mampu mencukupi warganya akan hunian yang layak serta permukiman
yang responsif dan mendorong produktifitas. Saat ini pemetaan kota yang baik
masih sulit dilakukan secara menyeluruh, karena masih terbatasnya data dasar
perkotaan yang memadai, yang salah satunya adalah melalui peta jalan di dalam rencana
tata ruang wilayah (RTRW) kota/perkotaan. Rencana dan program perumahan dan
permukiman untuk sebuah kota untuk minimal 20 tahun mendatang harus konkrit
tertuang di dalam RTRW, baik tecermin di dalam kebijakan dan strategi penataan
kota, pola dan struktur ruang kota, maupun di dalam indikasi program utama
pemanfaatan ruang.
Visi kolektif
pentingnya perkotaan lestari , yang masih menghadapi banyaknya tantangan
persoalan perkotaan, yang harus diselesaikan secara sinergik oleh semua
pemangku kepentingan agar cepat terwujud kota dan perkotaan yang lebih baik,
karena pada kota-kota demikianlah maka penghidupan dan kehidupan yang lebih
baik bagi warganya juga akan dapat lebih terjamin. Hal ini dianggap masih
sangat sulit dicapai bagi sebuah negara berkembang, seperti Indonesia, sehingga
memerlukan tindakan-tindakan yang lebih nyata, yaitu pro-shelter dan
pro-settlements di tingkat pusat dan daerah dalam kebijakan dan program
pembangunannya.
Pertumbuhan
kota yang cepat secara langsung berimplikasi pada pembangunan infrastruktur dan
pelayanan public. Kurangnya pelayanan air bersih, sistem sanitasi yang baik,
penyediaan rumah dan transportasi yang baik untuk memenuhi kebutuhan
pertumbuhan penduduk kota, akan menjasi penyebab utama timbulnya masalah di
kota-kota Negara berkembang.
1.2 Tujuan
1.
Mengetahui tata cara perancangan sistem
perkotaan yang baik bagi masyarakat.
2.
Mengetahui manajemen perkotaan yang baik dan
benar.
1.4 Ruang
Lingkup
Ruang lingkup dari pembahasan
masalah ini ialah segala sesuatu yang berkenaan dengan masalah seputar tata
kota ditinjau dari aspek sosial-ekonomi masyarakat yang hidup didaerah kota.
BAB II
GAGASAN
2.1 Penataan
Kota yang Baik
Kota yang baik
adalah yang mampu mencukupi warganya akan hunian yang layak serta permukiman
yang responsif dan mendorong produktifitas. Saat ini pemetaan kota yang baik
masih sulit dilakukan secara menyeluruh, karena masih terbatasnya data dasar
perkotaan yang memadai, yang salah satunya adalah melalui peta jalan di dalam
rencana tata ruang wilayah (RTRW) kota/perkotaan.
Rencana dan
program perumahan dan permukiman untuk sebuah kota untuk minimal 20 tahun
mendatang harus konkrit tertuang di dalam RTRW, baik tecermin di dalam
kebijakan dan strategi penataan kota, pola dan struktur ruang kota, maupun di
dalam indikasi program utama pemanfaatan ruang. Program-program perumahan dan
permukiman harus disusun kontekstual sesuai kebutuhan nyata warganya, baik
terkait perbaikan lingkungan seperti KIP, peremajaan kawasan, maupun penyediaan
kawasan permukiman baru seperti Kasiba/Lisiba, atau bahkan sebagai kota
mandiri.
Untuk
mendapatkan tata kota yang baik seharusnya kita harus bisa memenuhi beberapa
syarat agar lebih baik yaitu:
1.
Sebelum membangun/memperluas sebuah kota harus
melakukan perencanana dulu seperti penyelidikan akan potensi kota dan
penempatan lokasi kota yang baik.
2.
Membuat peraturan tentang perluasan kota.
3.
Melakukan pemetaan tentang tata letak bangunan
publik dan perumahan sehingga tidak saling timpa tindih.
4.
Penyedian ruang hijau sebagai paru-paru kota.
5.
Memperhatikan aspek yang menunjang seperti,
lokasi pelabuhan laut, bandara udara, stasiun kereta, terminal bus dan masih
banyak lagi.
Dalam disiplin
ilmu perancangan kota, seperti dijelaskan oleh Ir. Ikaputra M.Eng., Ph.D.,
pakar perencanaan kota dan lingkungan, paling tidak ada empat tolak ukur kota
yang baik:
1.
Kota itu harus bisa berfungsi dengan baik.
Artinya, tata guna ruang tersebut harus berfungsi optimal.
2.
Kota harus memiliki sirkulasi, sehingga
penghuninya bisa berpindah tempat dengan baik. Salah satu indikatornya adalah
transportasi publik. Kalau transportasi publik buruk, kota itu tidak bisa
dinilai baik.
3.
Tata ruang kota harus dikembangkan berdasar
penataan bangunan. Kalau penataan bangunannya buruk, kota itu tidak bisa
dikategorikan sebagai kota yang baik.
4.
Tata utilitas lain di luar
sirkulasi/transportasi, seperti drainase dan sanitasi, harus bekerja dengan
optimal. Tidak hanya di Jakarta, di kota lain di seluruh dunia pun menghadapi
tantangan drainase dan sanitasi yang sama. Selain alasan cuaca ekstrem,
ternyata masalah paling umum yang dihadapi banyak kota di Indonesia berkaitan
dengan drainase adalah kapasitas utilitas drainase kota itu tidak mampu
mewadahi aliran air karena tata ruang kota itu tidak dirancang dengan baik.
Maka itu, dalam
membangun sebuah kota diperlukan perencanaan yang baik. Berikut prinsip-prinsip
perencanaan kota, seperti dikutip dari www.globalplannersnetwork.org:
1.
Mendukung pembangunan kota yang berkelanjutan
2.
Terintegrasi dengan semua aspek kota, seperti
transportasi, saran publik, mitigasi bencana, dan sebagainya.
3.
Terintegrasi dengan perencanaan biaya.
4.
Melibatkan mitra dan stakeholder.
5.
Sesuai dengan prinsip-prinsip tentang tata
kawasan dan hunian.
6.
Mendukung respons pasar terhadap kawasan
tersebut.
7.
Mendukung akses menuju ke kawasan tersebut.
8.
Mengembangkan fasilitas pendukung yang sesuai.
9.
Berpihak pada golongan ekonomi rendah dan
kepentingan umum.
10.
Memperhatikan keragaman budaya.
2.2
Manajemen Perkotaan yang Baik dan Benar
Manajemen Perkotaan
adalah suatu upaya mobilisasi sumber daya perkotaan melalui tahapan
perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan, pengendalian, secara efisien dan
efektif guna mewujudkan visi, misi, dan tujuan dari suatu kawasan perkotaan
dengan tetap mempertahankan linkungan strategis.
Adapun
kebijakan masyarakat dalam manajemen perkotaan mencakup hal- hal sebagai
berikut:
1.
Tata ruang
2.
Pemanfaatan lahan
3.
Program investasi
4.
Pembiayaan pembangunan
5.
Lingkungan hidup
6.
Kelembagaan
7.
Partipasi masyarakat dan pelayanan masyarakat.
Bertambahnya jumlah penduduk yang terus meningkat dari waktu ke
waktu akan memberikan implikasi terhadap tingginya pemanfaatan ruang kota. Ada
2 (dua) faktor penting dalam penataan kota, yaitu faktor ideal dalam arti
standar kesejahteraan kota dan faktor pelaku dimana manusia itu sendiri yang
berfungsi sebagai subyek dalam suatu kota. Terkait dengan perlunya penyediaan
Ruang Terbuka Hijau (RTH) di setiap kota sebesar 30% yang disebutkan dalam
Undang-undang No. 26 Tahun 2007, maka dalam merencanakan dan membangun sebuah
kota tidak hanya pembangunan secara fisik yang ditonjolkan untuk mencapai
kemakmuran perekonomian, namun penyediaan RTH dan fasilitas publik juga perlu
ditingkatkan.
Adanya arus globalisasi yang terjadi saat ini akan banyak membawa
perubahan dan tantangan baru dalam penataan ruang. Diperlukan adanya manajemen
kota untuk menampung berbagai macam aspirasi, kepentingan, dan harapan dari
masyarakat dengan mengembangkan prinsip-prinsip manajemen yang terpadu dan
terkoordinasi.
Konsep pemberdayaan dan pelibatan masyarakat miskin perkotaan dalam
penataan ruang harus dilakukan secara hati-hati, dikarenakan sangat rentan
terhadap intervensi dalam perencanaan kota. Perlu adanya pemecahan masalah dari
sisi sosial ekonominya dengan upaya penyediaan lahan, pembangunan berbasis
teknologi, dan penetapan biaya yang terjangkau oleh masyarakat. Selain itu
penerapan prinsip trust-worked antara Pemerintah dan masyarakat harus tetap
dilaksanakan untuk mewujudkan penataan ruang yang bermanfaat bagi semua lapisan
masyarakat.
Penangan masalah-masalah yang terjadi dapat menjadi nilai tambah
untuk pemerintah karena peduli dan ada tindakan untuk menyelesaikan
masalah-masalah pembangunan. Selain itu, keterlibatan semua pelaku manajemen
perkotaan dapat diaplikasikan melalui pendekatan pembangunan partisipatif.
Pemerintah harus bisa mengajak semua stakeholder dalam pembangunan. Secara
khusus bagi masyarakat, mereka tidak lagi secara pasif menerima bantuan sebagai
objek pembangunan, tetapi mereka diajak aktif untuk menjadi subjek dari
pembangunan itu sendiri. Dengan adanya pendekatan tersebut maka diharapkan
manajemen perkotaan tersebut dapat mewujudkan hasil pembangunan yang lebih
baik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam proses
perencanaan pengembangan wilayah,
peran strategis wilayah, masyarakat
dan piranti pendukung
lainnya merupakan satu
bagian yang tidak dapat
dipisahkan. Pemahaman mendalam
terhadap potensi wilayah dan kendala yang
menghambat, akan sangat
menentukan dalam penetapan arahan pengembangan kewilayahan. Dengan menerapkan visi perencanaan yang sesuai,
maka akan diperoleh suatu arahan penataan
wilayah yang tepat
tujuan dan sasaran.
Dalam dalam hal
penataan kota ini memeliki visi kolektif pentingnya perkotaan lestari , yang
masih menghadapi banyaknya tantangan persoalan perkotaan, yang harus
diselesaikan secara sinergik oleh semua pemangku kepentingan agar cepat
terwujud kota dan perkotaan yang lebih baik, karena pada kota-kota demikianlah
maka penghidupan dan kehidupan yang lebih baik bagi warganya juga akan dapat
lebih terjamin. Hal ini dianggap masih sangat sulit dicapai bagi sebuah negara
berkembang, seperti Indonesia, sehingga memerlukan tindakan-tindakan yang lebih
nyata, yaitu pro-shelter dan pro-settlements di tingkat pusat dan daerah dalam
kebijakan dan program pembangunannya.
No comments:
Post a Comment